Rabu, 19 Januari 2011

Life Is Struggle
Bismillah….
Mengalir seperti Air. Pasrah, apa mauNya, Allah. Tulisan ini merupakan kisah nyata dari sepenggal perjalanan hidupku mencari jati diri dan berjuang dalam menempuh pendidikan. Hidup ini dibutuhkan pengorbanan berupa, kerja keras, tidak menyerah, tidak putus asa, sabar, ikhlas serta mensyukuri Nikmat Allah yang telah kita miliki. Allah Maha adil, ada si kaya ada pula si miskin. Hidup, ibarat roda berputar kadang berada diatas, kadang berada dibawah. Belajar, memahami arti sebuah kehidupan yang sangat kompleks di sekeliling kita. Pasti kita akan berucap, Alhamdulilah. Terimakasih Ya Allah.
Terlahir dari keluarga yang sederhana aku dididik menjadi seorang Kartini yang berbeda. Aku anak ke Enam dari tiga belas bersaudara, memiliki tujuh adik dan lima kakak. Bapak bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di sebuah Sekolah Dasar Negeri sedangkan Ibu bekerja sebagai pedagang sayur di Pasar. Aku adalah tipe manusia yang perfeksionis, kreatif, spontan dan ekstrover, meski terlalu banyak masalah dalam hidup aku tergolong orang yang mudah menemukan solusi, aku berani menerima tantangan, namun sangat tidak suka spekulasi. Aku memiliki jiwa sangat sensitive dan mudah bosan. Selama menempuh pendidikan enam tahun yang lalu, Sekolah sambil bekerja sudah menjadi pilihanku dan itu tidak bisa di cancel. Kerja apa saja kulakukan mulai dari cuci piring di sebuah rumah makan, pembantu rumah tangga hingga sebagai penjaga bayi. Itu semua kulakukan demi meringankan orang tua, agar tidak perlu membiayai pendidikanku (mungkin karena aku bukan tergolang anak yang cerdas, rasanya sulit sekali mendapatkan beasiswa.) maka dari itulah aku terus berpikir mencari biaya dan fasilitas gratis!. Usiaku yang masih dini, (waktu itu) memaksaku berpikir untuk lebih dewasa lagi. Seorang Kartini kecil menjadi saksi, bagaimana perjuangan orangtua demi memenuhi kebutuhan kami, anak-anaknya. Penghasilan bapak yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sangat minim sekali, karena hampir delapan puluh persen gaji bapak terpotong untuk menutupi hutang-hutang di bank.
Usai menyelesaikan Sekolah Menengah Kejuruan. Bapak ingin agar aku kuliah, Akhirnya dengan berbekal uang tujuh ratus ribu rupiah, sampailah aku di kota yang terkenal dengan gudegnya itu. Syukur Alhamdulilah, aku diterima di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Selama di Jogja aku dipertemukan dengan mahasiswa kedokteran yang bernama Fifi Noviana. Karena waktu itu kondisiku yang lumayan memperhatinkan dari segi financial, Beliau meminta agar aku tinggal bersamanya, secara gratis!!! (hari gini masih ada yang gratis!!!). Gayungpun bersambut, tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakan saja, apalagi suasananya saat itu aku memang sedang butuh tempat tinggal yang bisa dijangkau menuju kampus. Selama tinggal bersamanya, Beliau sering memberiku uang, makanan, meminjamkan baju, jilbab, bahkan dia tak segan-segan meminjamkan motor saat aku membutuhkanya. Hingga pada akhirnya, motor yang awalnya kondisinya sangat bagus, terpaksa harus mendapatkan perawatan serius, akibat kecelakaan yang kualami. Itulah yang menyebabkan aku merasa tidak enak dan khawatir membebaninya terus menerus, aku tidak ingin menjadi seperti benalu. Tapi, apa mau di kata, aku tidak punya pilihan kecuali harus tetap tinggal bersamanya. Akhirnya aku berinisiatif untuk mencucikan bajunya dan membersihkan serta merapikan kamarnya sebagai tanda terimaksihku padanya, itupun beliau masih sering memberi uang. (Jazakillah ya, Mbak Fifi) Hidup yang penuh teka-teki, perjuangan yang tiada pernah habisnya membuatku lebih terpacu agar aku bisa menjadi manusia yang bermanfaat dan bisa mencontoh kebaikan-kebaikan seorang Fifi Noviana. Seperti mimpi rasanya dari waktu kewaktu, perlahan tapi pasti, titik terang di kehidupan ini mulai kutemui meski masih terlihat samar-samar.
Sehari setelah aku mengikuti bedah buku Inspiring Words For Writters Karya Mohammad Fauzil Adzim di sebuah Aula Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Aku masih merasakan aura Positif berupa motivasi yang membuatku tak henti-hentinya berniat menjadi penulis. Beliau merupakan Seorang penulis yang Cerdas dan berwawasan luas. Penulis yang sangat akrab di telinga mahasiswa Jogja. Penulis yang sangat aktif memberikan motivasi pernikahan, psikologi, Anak-anak dan tulis menulis, sungguh telah memberi warna yang berbeda dalam hidupku. Pesan-pesanya yang sarat akan makna membuatku penasaran, ingin sekali aku seperti beliau. Buku ini sangat sangat unik, tulisannya yang dalam, tegas, lugas dan terkadang sedikit menyindir. Hingga aku berniat seandainya aku bisa membeli buku tersebut maka aku akan mengaplikaskan dalam kehidupan nyata. Buku karya Mohammad Fauzil Adzim yang berjudul Inspiring words for writters, harganya lumayan mahal (bagi yang merasa memiliki uang pas-pasan, seperti aku). tetapi, demi menjawab rasa keinginan tahuanku tentang dunia tulis menulis aku merasa sangat tidak menyesal membeli buku tersebut. Pada waktu itu aku hanya memiliki uang lima puluh ribu rupiah itupun untuk stock makan selama sebulan, akan tetapi setelah berpikir panjang dari sisi baiknya maka aku nekat membelinya dengan resiko siap untuk kekurangan uang. Buku ini bukan saja unik, akan tetapi kata-katanya yang indah, insipiratif dan motivatif, tersususun rapi, simple dan sangat mudah dicerna. Bahkan, secara tidak langsung Pak Muhammad Fauzil Adzim, juga menekan agar generasi muda menjadi penulis yang cerdas tidak hanya mengandalkan otak tetapi harus dibarengan dengan hati dan niat yang lurus. Terus terang selama memiliki buku ini hampir setiap hari buku ini ada di tasku, padahal buku ini entah sudah berapa kali selesai kubaca. Hanya saja setiap kali aku membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat selalu saja membawa dunia baru dan berbagai ide-ide cantik dalam pikiranku, contohnya ketika aku merasa bosan dan buntu dalam menulis, setelah membaca buku tersebut sepertinya Mohammad Fauzil Adzim sedang berada di hadapanku untuk mengajarku.
Biasalah mahasiswa yang hidupnya pas-pasaan seperti aku ini, sangat jarang mengakses internet karena aku sadar jika sering online maka uang makanku akan berkurang, logikanya jika aku tidak makan aku tidak bisa beraktifitas. Maka dari itulah Semasa kuliah, aku sangat paling sering mondar mandir di papan-papan pengumuman. Bahkan jika berkunjung di Universitas-universitas aku paling rajin membaca Pamflet-pamflet yang terpampang. Berharap ada lomba-lomba yang bisa kuikuti, hitung-hitung untuk pengalaman serta menambah biaya kuliah . Pagi, pukul setengah delapan, sembari menunggu dosen Bahasa Arab, Tepat di depan kantor tata usaha (TU) Fakultas Agama Islam. Seperti biasa kusempatkan untuk melihat pengumuman terpampang jelas ada lomba menulis Novel diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), bekerjasama dengan penerbit Dzikrul Hakim. Tema yang diminta pun tidak sulit yaitu tentang kehidupan Remaja dan panjang tulisan minimal 100 halaman, dan diketik komputer. Aku yang masih berangan-angan menjadi seorang novelis ini seperti mendapatkan karunia saja, Pikiranku menerawang jauh disana. Seketika aku teringat kalimat-kalimat insipirasi dari buku karya Muhammad Fauzil Adzim jika ingin penjadi penulis, menulislah!! kapan waktunya menulis ya, sekarang! Luar biasa, kalimat yang sangat tegas, memaksa, tidak ada lobi-lobi jelas saja membiusku menjadi mati rasa. Bahkan dalam waktu sekejap aku mampu mensugesti pikiranku aku adalah seorang Novelis. Begitulah sugesti yang kutanam empat tahun yang lalu, untuk investasi jangka panjang.
Selama dalam perjalanan menuju kontrakan Al-Ifah, kulalui jalan setapak di pematangan sawah mempercepat langkahku sambil memegang buku Inspiring words for writers, seperti ada yang mendorongku untuk segera menulis, menulis dan menulis. Sesampai di kontrakan aku duduk terrmangu, aku baru menyadari bahwa sebenarnya, aku terlalu bernafsu, terlalu bersemangat, tanpa memikirkan bahwa aku tidak memiliki fasilitas seperti komputer sesuai syarat yang diminta oleh panitia lomba. Jika mengetik di rental komputer biayanya pasti mahal, Itu masih mengetik, belum ngeprintnya. Ternyata terbang terlalu tinggi akhirnya jatuh tak berdaya rasanya sakit, semangat yang tadinya mengebu-gebu seketika saja menjadi down. Meski bingung, aku mencoba bangkit (pasti ada jalan keluar). Pelan tapi pasti, kuberanikan diri untuk meminjam komputer mbak Fifi. Subhanallah, lagi-lagi Allah memperlihatkan kekuasaanya untukku Allah memudahkan urusanku. (Thanks to Allah) Tidak sulit, dengan entengnya beliau menjawab “ Pakai aja, dek!. Tuh, printernya kalau mau ngeprint ” itulah kata-kata singkat yang kudengar dari seorang Fifi Noviana yang saat ini telah menjadi seorang dokter. Aku merasa kemudahan ini karena Allah.
Deadline lomba jatuh pada tanggal 30 sementara tanggal sudah menunjukan angka 15, itu artinya aku hanya memiliki waktu sekitar dua belas hari lagi, dan selebihnya digunakan untuk mengedit dan administrasi. Bagi pemula seperti aku ini, tentu saja deadlinenya sangat terlalu cepat. Ah, tapi tidak ada pilihan kecuali mencoba dan berusaha pasti aku bisa (pikirku memberi semangat). Setelah mendapat izin memakai komputer, aku memasang strategi untuk mengejar deadline. Kucancel agenda-agenda yang tidak terlalu penting. Kutetapkan jam biologis dalam menulis, start jam 9 malam hingga finish menjelang adzan subuh. Sedang waktu siang aku harus kuliah. Waktu kian berlalu Hari demi hari terasa sangat cepat. Aku terus berpetualang asyik dengan komputer, jari-jari tangan sangat lincah menari-nari di atas keybord tanpa mengenal lelah. Kata demi kata mengalir begitu deras tak terbendung. Spontanitas otodidak, aku bisa mahir menulis, Seperti memuntahkan segala beban yang ada di dalam pikiran selama ini.
Tiga bulan kemudian, aku sendiripun sudah mulai lupa dengan lomba tersebut bahkan aku berpikir, mungkin aku belum beruntung. Mungki saja karena tulisanku masih sangat banyak kekurangan disana sini. Mungkin ceritanya kurang bagus. (itulah yang kupikir saat pertama kali aku mengikuti sayembara) seiring waktu berlalu. Beberapa hari kemudian terpampanglah nama-nama pemenang dipapan pengumuman depan Tata Usaha Agama Islam. Aku yang masih penasaran tidak sabar melihat pengumuman tersebut. Uhm.. Syukur Alhamdulilah ternyata tulisan yang menurutku serba pas-pasan itu, Tertulis jelas “KARTINI NAINGGOLAN” juara harapan satu, Novel yang berjudul “MENYELAM EMBUN” aku bersyukur sekali, meski hanya mendapat harapan satu.
Semenjak itu pula aku mulai menyadari bahwa sebenarnya aku memiliki bakat menulis. Dan beberapa bulan kemudian aku kembali mengikuti Sayembara menulis Novel yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2008, berjudul “Kelabu di Ujung senja” tapi aku hanya berhasil menjadi finalis saja. Aku memang harus banyak belajar dari orang-orang lebih berpengalaman, harus banyak membaca serta harus lebih banyak mendengar dan mungkin harus lebih peka dengan orang-orang yang berada di sekeliling. Seperti yang pernah disampaikan oleh Pak Mohammad Fauzil Adzim. menulis harus dimulai dengan niat yang lurus, dakwah dan selebihnya adalah merupakan bonus dan rezeki dari Allah. Meski aku tidak menyangkal bahwa kreativitas yang kulakukan ini juga tidak lepas dari tuntutan ekonomi yang pada waktu itu aku sangat membutuhkan uang untuk membayar semester.
Buku yang hanya berukuran seperti wadah piringan DVD ini mampu menyihir pembaca yang masih pemula khususnya diriku sendiri. Aku tahu, mungkin bukan buku ini saja yang bertema mengenai dunia tulis menulis. Akan tetapi buku yang teramat simple dan praktis ini menjadi saksi bagaimana perjuanganku saat-saat aku mengalami kesusahan dalam menyusun kata-kata menjadi kalimat yang bisa di mengerti oleh pembaca. Ini merupakan babak baru dalam hidupku. Alhamdulilah, dengan bermodal kesabaran dan tidak berputus asa, tidak menyerah, akhirnya sedikit demi sedikit aku bisa menyusun kata demi kata menjadi cerita yang panjang. Kuncinya tetap konsisten untuk tidak egois dengan diri sendiri serta mengikuti saran-saran beliau lewat buku Inspiring Words For Writers. Mengkaji ulang buku Inspiring Words for Writers tidak akan pernah ada habisnya. Bagiku buku ini mampu merubah hidupku. Maka dari itulah, aku merasa tidak sia-sia membeli buku ini meskipun harus mengorbankan uang makan. Rasanya Semua terbayar mahal, berupa semangat serta insipirasi yang memukau.
Sekarang, sudah hampir satu tahun setengah, aku tidak melihat, memegang, maupun membaca, buku Inspiring Words for writers, karena buku yang mampu membawa gejolak perubahan dalam sepenggal perjalanan hidup ini telah kuwariskan untuk adik yang saat ini sedang duduk dibangku SMA. Berharap agar dia tersihir dengan kata-kata milik Mohammad Fauzil adzim hingga dengan mudah mendapatkan hikmah dan ide-ide brilian sebagaimana yang pernah kurasakan. Aku ingin dia bisa menjadi penulis, berjalan normal tentunya harus lebih baik dariku. Meski berjauhan, Aku selalu memberinya motivasinya untuk giat belajar, walaupun hanya sekedar by. Handphone ataupun email. Serta memberinya hadiah setiap dia ada perkembangan dalam belajarnya. Menjadi penulis yang ulung, cerdas serta sholeh/sholehah siapa sih yang tidak menginginkanya?!! Tapi sayang, tidak semua orang bisa. Begitu pula aku, aku merasa masih banyak sekali kekurangan yang ada pada diriku. Apalagi mengingat bapak, sangat berharap aku bisa menjadi seorang penulis, itulah sebabnya mengapa aku di beri nama Kartini. Bapak merupakan orang yang mengagumi sosok R.A Kartini, menurut bapak, beliau sangat pandai menulis (korespondensi) dengan teman-temannya. Layaknya seorang RA. Kartini habis gelap terbitlah terang, aku berharap kelak akan menjadi Kartini baru di eramodern. Habis menulis terbitlah buku.
Tiga bulan selanjutnya aku berhasil membuat Novel. Semua itu tidak luput karena bantuan Mbak Dalilah (Lilo) yang merevisi tulisanku selama tiga bulan by Email. Setelah selesai merevisi akhirnya perjuangan yang cukup melelahkan itu terbayar. Alhamdulilah diterbitkan pada bulan Oktober 2008. Kemudian pada bulan Februari 2010 diterbitkan dengan bahasa Melayu. Malaysia. Padahal sebelumnya naskah itu pernah di tolak oleh sebuah penerbit. Seandainya dulu aku langsung berputus asa dan meninggalkan Novel itu tanpa jejak , mungkin semuanya akan menjadi sia-sia.
That’s it, Hidup ini sejatinya simpel, kitalah yang membuatnya kompleks Allah Maha Penyayang, kitalah yang tak pernah berhenti “berhitung” dengan mekanisme untung rugi. Sabar dan ikhlas tetap merupakan solusi untuk berbagai kepelikan. Selanjutnya tinggal tawakal. Sesederhana itu. Sepertinya aku telah berhasil berdamai dengan diri sendiri. Hidup memang harus selalu memilih, dan pada setiap pilihan yang diambil, selalu berisi “sepaket” aspek positif dan negatif. Selebihnya tergantung pada kita, mau menyikapinya secara positif atau negatif. Mudah-mudahan kisah ini mampu memberi spirit baru. Khususnya bagi mereka-mereka yang sedang berjuang mencari biaya sekolah maupun kuliah. Wallahu’alam.

Kisah ini untuk dikutsertakan dalam lomba Kisah menggugah Pro-U Media 2010 di http://prumedia.blogspot.com/2010/10/l lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html.